Learn Unlearn Relearn – Pengertian dan Penerapannya

learn unlearn relearn

Apakah Anda pernah mendengar istilah learn, unlearn, dan relearn? Istilah learn, unlearn, dan relearn merupakan konsep dasar tentang pola pikir manusia dalam menerima informasi baru. Contoh penerapan istilah tersebut dapat Anda perhatikan pada contoh berikut.

Sebagai bangsa dengan budaya memberi salam dan berjabat tangan, aneh rasanya jika kebiasaan tersebut tidak diterapkan. Namun, semenjak Pandemi COVID-19 menyerang, interaksi langsung seperti jabat tangan menjadi dilarang mengingat transmisi virus COVID-19 yang melalui sentuhan langsung. Dampaknya, tidak sedikit yang merasa canggung dan khawatir menyinggung jika menolak berjabat tangan.

Namun, secara perlahan masyarakat pun mulai beradaptasi dengan tolakan berjabat tangan. Otak kita pun melakukan pembiasaan untuk mengubah sesuatu yang sebelumnya kita yakini harus dilakukan menjadi tidak boleh. Proses inilah disebut unlearning dan relearning.

Artikel ini akan mengupas tuntas mengenai apa itu learn, unlearn, relearn serta cara menerapkan konsep tersebut dalam keseharian kita.

Baca juga: Memahami Aspek “Fokus & Fleksibel”

 

Apa itu Learn, Unlearn, Relearn?

Master Yoda dalam film Star Wars mengatakan kalimat berikut kepada Luke Skywalker ketika sedang melatih Luke mengendalikan force (energi).

You must unlearn what you have learned.” – Master Yoda

Pada saat itu, Luke bersikeras mengikuti pemikirannya sendiri dan meragukan ajaran Yoda. Lantas, apa maksud dari perkataan Yoda tersebut?

Pesan yang ingin disampaikan adalah kita perlu mengosongkan terlebih dahulu pengetahuan yang dimiliki sebelum mempelajari hal baru. Salah satunya seperti kepercayaan, prinsip, hingga nilai-nilai yang dianut. Inilah yang dimaksud dengan konsep unlearning.

Secara sederhana, konsep learn, unlearn, relearn adalah kemampuan adaptasi pola pikir terhadap perubahan dan perkembangan lingkungan secara keseluruhan. Konsep ini sangat penting dikuasai mengingat perubahan terkadang datang begitu cepat.

Mengapa Learn, Unlearn, Relearn itu Penting?

Saat pandemi Covid-19 menyerang, dalam sekejap mengubah kebiasaan dan pola hidup kita berubah, salah satunya seperti sekolah dan bekerja online. Perubahan tersebut memaksa kita untuk unlearn pemahaman kita terhadap kebiasaan lama dan relearn hal-hal baru.

Contohnya, kita perlu belajar bagaimana memimpin meeting secara online menggunakan platform seperti Zoom, Microsoft Team, Skype, dan lainnya. Lalu, belajar membagi waktu dalam pekerjaan dan urusan rumah, membangun suasana interaktif saat pertemuan online, dan hal-hal lainnya.

Tanpa melakukan unlearning, kita akan kesulitan untuk relearning atau mempelajari hal-hal baru karena seperti dalam cerita Nan-in, kita akan seperti gelas yang terlalu penuh sehingga tidak bisa lagi dituangkan ilmu/hal baru. Unlearning juga perlu dilakukan karena tidak semua yang kita sudah pelajari atau kita pahami adalah hal yang baik/benar.

Cara Menerapkan Learn, Unlearn, Relearn

Setelah kita memahami konsep learn, unlearn, and relearn, pembahasan selanjutnya adalah mengenai cara menerapkan istilah tersebut.Seorang penulis, pebisnis dan futurist, Alvin Toffler, menulis kalimat yang jika diterjemahkan seperti berikut ini.

“Orang yang berliterasi rendah di abad 21 bukanlah orang yang tidak bisa membaca dan menulis, tetapi orang yang tidak bisa learn, unlearn, and relearn.” – Alvin Toffler.

Artinya, seseorang yang tidak bisa menerapkan konsep “Learn, unlearn, relearn“, tidak akan bisa bersaing di abad 21, khususnya secara profesional di dunia kerja.

Oleh karena itu, berikut adalah beberapa cara menerapkan learn, unlearn, relearn yang bisa Anda coba.

1. Identifikasi Hal Baru

Bagaimana agar kita bisa melakukan proses unlearning tersebut? Pertama, identifikasi hal-hal yang baru, hal-hal yang sedang berkembang atau hal-hal yang dirasa sudah tidak relevan dan perlu diperbaharui. Proses ini dapat dilakukan dengan lebih optimal jika kita memiliki mindset untuk mempertanyakan apapun, berpikir kritis, dan menantang status quo. Mulai dari mempertanyakan kenapa.

Contohnya seperti mempertanyakan kenapa suatu proses harus dilakukan sedemikian rupa? Lalu, Kenapa perlu ada laporan akhir tahun? Kenapa perlu ada KPI? dan banyak hal lainnya. Jika jawaban yang didapat adalah “Karena udah dari dulu begitu” atau “Udah dari sananya seperti itu” atau “Karena senior kita begitu” atau “Ya semua orang melakukannya begitu”, maka besar kemungkinan hal tersebut perlu dipikirkan lagi, digali lebih dalam, dan bisa saja diubah untuk hasil atau kepentingan yang lebih baik.

Jangan ragu atau malu untuk mempertanyakan hal-hal di sekitar kita, karena banyak orang sebenarnya melakukan sesuatu tanpa tahu alasannya, tanpa tahu kenapa mereka melakukan itu.

Jangan ragu atau malu untuk mempertanyakan hal-hal di sekitar kita

Perlu diingat bahwa cara ini penting untuk kita memahami alasan atau latar belakang dari suatu hal yang kita pertanyakan. Biasakan diri kita untuk curious atau kepo dalam hal yang positif, bereksperimen dan mencoba-coba hal baru. Inovasi tidak akan tercipta jika kita takut gagal sebelum mencoba. Para ilmuwan terkenal saja pada awalnya banyak dianggap gila, bahkan dimasukkan ke penjara akibat penelitian mereka. Namun, inovasi mereka membuat penilaian tersebut berbalik dan menghadirkan banyak pujian.

 

2. Menerima bahwa Zaman telah Berubah

Kedua, terima (accept) bahwa zaman sudah berubah, pemahaman kita sudah usang, apa yang kita tahu sudah tidak berlaku lagi, dan terima bahwa kita perlu mengesampingkan atau bahkan membuang apa yang sudah kita pelajari, untuk memberikan ruang bagi ilmu/pemahaman yang baru. Penolakan atau resistensi pasti terjadi di tahap ini dan menjadi tantangan bagi kita untuk bisa meredamnya lalu mencoba membuka diri untuk menerima hal baru. Jika kita merasa paling tahu, paling pintar dan paling benar, akan sangat sulit untuk bisa menerima bahwa kita perlu belajar lagi dan perlu berubah.

Proses ini yang saya rasa menghambat sebagian besar orang, terutama orang dewasa atau orang yang sudah tua, untuk bisa beradaptasi dan berkembang karena pemahaman mereka sudah tertanam sedemikian rupa dalam waktu yang lama sehingga tidak semudah itu untuk mereka bisa menerima perubahan.  Proses ini akan lebih mudah dijalankan jika kita rendah hati dan memiliki growth mindset, seperti peribahasa “Seperti padi, kian berisi kian merunduk”.

Jika kita merasa paling tahu, paling pintar dan paling benar, akan sangat sulit untuk bisa menerima bahwa kita perlu belajar lagi dan perlu berubah.

 

3. Hadapi Perubahan

Ketiga, rangkul dan hadapi perubahan (embrace change). Jadikan perubahan sebagai tantangan yang bisa ditaklukan, bukan sebagai ancaman yang sulit dihadapi. Biasakan diri berada dalam ketidakpastian atau ketidaknyamanan, karena justru dalam situasi seperti itu kita bisa berkembang dan berubah. Step out of your comfort zone and you will find growth. Dari sini kita mulai masuk ke proses relearning.

 

4. Lakukan Eksperimen terhadap Hal Baru

Keempat, pelajari hal-hal baru dan lakukan eksperimen. Setelah kita selesai menerima bahwa kita perlu belajar dan mengesampingkan atau bahkan membuang pemahaman yang kita punya, langkah selanjutnya adalah mempelajari hal yang baru dan bereksperimen dengannya. Asah terus kreativitas kita agar kita bisa berinovasi. Di sini proses relearning itu terjadi.

 

5. Terapkan Learn, Unlearn, Relearn dalam Keseharian

Kelima, terapkan ilmu/pemahaman baru yang kita pelajari, terapkan konsep “Learn, unlearn, and relearn” dalam keseharian kita, latih terus diri kita untuk bisa tetap aware dengan keadaan sekitar dan terus mau berubah jika saatnya tiba, dan antisipasi perubahan-perubahan yang akan datang agar kita bisa lebih mempersiapkan diri.

 

Baca juga: Managing Employee Well-Being During Working from Home

 

Semoga dengan mempelajari konsep “Learn, unlearn, and relearn“, kita bisa lebih siap menghadapi perubahan, lebih mudah beradaptasi, dan bisa terus bertahan di tengah segala ketidakpastian yang terjadi di kehidupan kita sekarang dan di masa depan.

Bounce Forward
To Evolve

Daily Meaning People Development Programs 2024