Membangun personal branding merupakan hal yang penting, terlebih dalam lingkup kerja profesional. Personal Branding merupakan suatu cara yang Anda lakukan untuk mempromosikan diri. Misalnya, seperti ingin dikenal sebagai sosok yang rapih, pintar, keren, dan sebagainya.
Sebelum kita masuk ke dalam diskusi, perhatikan kuis sederhana sebagai pembuka diskusi berikut:
Saat Anda melihat kartu nama Anda, adakah kekerenan yang begitu powerfulnya langsung tampil eksplisit di kertas kecil tersebut?
Dalam banyak kesempatan tatap muka, terkadang saya merasa antara kartu nama dan kepribadian seseorang tidaklah sejalan. Dalam kartu nama dituliskan job title yang sangat mentereng, tetapi ternyata si pemilik jabatannya tidak sekeren dari yang dijanjikan nama jabatannya. Atau nama besar organisasi yang tidak otomatis berbanding lurus dengan tingkat kekerenan orang yang bekerja di dalamnya.
Akhirnya saya menganalogikan orang layaknya komputer, yang memiliki hardware, software, dan user interface. Tiga komponen dalam komputer tersebut dapat dianalogikan seperti sistem yang membangun personal branding seseorang. Berikut penjelasan lebih detailnya.
Baca juga: Peran Customer Service dalam Perusahaan
Belajar Membangun Personal Branding melalui User Interface
User interface merupakan suatu tampilan yang menjadi tempat user atau pengguna berinteraksi dengan sistem komputer, seperti website dan aplikasi. Semakin menarik user interface-nya, maka semakin bagus juga branding website atau aplikasi tersebut. Pengalaman user interface inilah yang dianalogikan sebagai personal branding seseorang.
Jika Anda dapat menampilkan personal branding yang baik, pandangan orang mengenai Anda pun akan ikut baik. Namun, perlu diingat bahwa personal branding bukan hanya sekadar tulisan dalam kartu nama saja. Anda perlu membangun personal branding secara menyeluruh dan tentunya real.
1. Hardware as a Personal Branding Face
Bila hardware-nya komputer adalah keyboard atau monitor sebagai contohnya, apakah hardware kita sebagai seorang profesional? Usia, gelar, pendidikan, IPK, organisasi tempat kita bekerja, nama jabatan, dan masa kerja bisa dianggap sebagai hardware kita.
Apakah hardware saja cukup untuk kita dibilang keren sebagai seorang profesional?
Jawabnya tidak. Let’s say ada gelar di depan nama Anda, apakah sepuluh orang dengan gelar yang sama dengan Anda tersebut memiliki tingkat kekerenan yang sama semua? Bagaimana dengan nama organisasi tempat Anda berkarier? Apakah semua orang yang bekerja di perusahaan tersebut keren semua?
Hardware kalau untuk first impression mungkin bolehlah, namun kesan pertama tidak akan bertahan lama kalau tidak ada pembuktian kekerenannya.
2. Software; How much of an expert are You?
Software-nya komputer adalah sang operating system, yang membuat komputer bisa berfungsi. Skill dan knowledge yang kita miliki sebagai profesional (seharusnya) membuat kita bisa kerja. Parahnya, kadang terjadi skill dan knowledge ada di orang tersebut, tapi ternyata tidak bisa kerja juga.
Dan lebih jauh lagi, apakah kerennya seseorang hanya sekadar “bisa kerja” atau “menjadi ahli dari yang dikerjakan”?
Coba Anda buat profil kompetensi Anda yang terkait dengan pekerjaan saat ini. Lalu challenge diri Anda, seberapa jauh Anda betul-betul bisa dibilang ahli dalam bidang yang Anda kerjakan?
3. User Interface; is about what you cause
Terakhir user interface, yaitu interaksi yang terjadi antara komputer dengan penggunanya, apakah terasa user friendly-nya dan apakah ada benefit yang diperoleh?
Kekerenan yang sebenarnya sebagai seorang profesional adalah pada dampak yang kita kontribusikan dari peran yang kita miliki.
Kartu nama yang berisi data hardware kita sekali lagi hanya sebagai identitas awal, namun bukan sebagai tanda legalisir kekerenan kita sebagai profesional. Pertanyakan dampak dari yang Anda perbuat selama ini, apakah hanya antara Anda dan ketebalan dompet Anda, atau antara Anda dan kemajuan banyak pihak yang bekerja sama dengan Anda, yang telah mendapatkan added value dari kekerenan Anda?
Baca juga: Learn How to Unlearn, then Relearn
—
(oleh Alexander Sriewijono, Oktober 2015)